Menyelamatkan Pendidikan Indonesia
PENDIDIKAN Indonesia seperti kapal besar yang mengalami korosi dan mengaram. Makin lama makin tenggelam. Terombang-ambing di tengah ombak, tanpa arah dan tujuan jelas. Meminjam terminologi Clifford Geertz, pendidikan Indonesia sedang mengalami involusi. Manusia-manusia yang bergulat dalam dunia pendidikan bukan makin tumbuh cerdas, berwawasan luas, berdedikasi, kreatif, jujur dan adil, atau beretos kerja meski fasilitas fisiknya bertambah. Pendidikan di Indonesia dalam waktu lama mengalami proses kemunduran, mengerut, atau mungkret dalam bahasa Jawa.
Zaman Soeharto, gegap gempita pembangunan pendidikan bersifat semu. Massalisasi pendidikan, khususnya di tingkat SD dan SMP, meninggalkan masalah karena mutu yang rendah. Pasca-Soeharto, pendidikan bukannya bertambah baik. Pungutan di sekolah dan perguruan tinggi negeri kian menggila, sampai-sampai menutup akses golongan miskin untuk memperoleh pendidikan bermutu. Janji menaikkan anggaran pendidikan sampai 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara hanya omong kosong. Pemerintahan baru yang akan terbentuk juga tidak perlu banyak diharapkan.
Bila di banyak negara pendidikan menjadi prioritas, di Indonesia pendidikan dalam kenyataannya justru tidak dianggap penting. Pendidikan sekadar pengisi waktu, bendungan agar orang tidak terlalu cepat masuk dunia kerja. Sekolah bagi banyak orang hanya dianggap fase dalam proses pendewasaan. Hanya minoritas yang beranggapan, sekolah merupakan investasi dan persiapan menuju hari depan yang lebih baik.
Politisi dan pemerintah sama saja. Peningkatan anggaran pendidikan 20 persen yang dibiarkan tinggal sebagai pasal dalam konstitusi dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Ketika pelaksanaan ditagih, seorang menteri mengatakan, itu dilaksanakan bertahap sampai 2009. Bila janji itu dipegang, berarti paling tidak tiap tahun anggaran pendidikan ditambah Rp 14 triliun. Padahal, untuk anggaran 2005, sudah hampir pasti anggaran pendidikan hanya akan naik sekitar Rp 2,4 triliun.
Di tingkat pendidikan dasar dan menengah, dunia pendidikan Indonesia belum banyak beranjak dari persoalan-persoalan lama. Pada masa Orde Baru, badan pendidikan dan kebudayaan PBB, UNESCO, pernah memuji-muji prestasi Indonesia dalam percepatan pemerataan pendidikan dasar hingga Soeharto menerima penghargaan medali emas Avicenna. Di tingkat SD, angka partisipasi kotor yang dicapai Indonesia telah mencapai di atas 100 persen, meski masih banyak anak di pelosok yang tidak tersentuh pelayanan pendidikan. Tetapi, ketika bicara SMP, wajib belajar sembilan tahun-bila tidak ada perubahan struktur anggaran yang signifikan-tidak akan bisa dicapai pada 2008. Belum lagi ketika bicara kualitas.
KURIKULUM elitis, yang hanya cocok untuk 30 persen siswa, tetapi diberlakukan pada semua anak, menghasilkan mediokritas. Dalam sistem elitis yang dimassalisasi itu, banyak siswa tidak bisa naik kelas atau lulus ujian secara wajar. Akibatnya nilai dikatrol dan diperjualbelikan. Mediokritas itu berlanjut sampai ke jenjang perguruan tinggi. Tidak heran bila di tingkat perguruan tinggi prestasi pendidikan Indonesia terpuruk. Di sejumlah perguruan tinggi negeri yang seleksi masuknya begitu ketat sekalipun, proses pendidikannya jeblok.
Perguruan tinggi Indonesia tidak kompetitif dibandingkan perguruan-perguruan tinggi lain di Asia, bahkan dibanding mereka yang datang belakangan. Lulusan empat perguruan tinggi negeri paling top di Tanah Air baru kompetitif dalam pasar kerja domestik. Dalam produksi ilmu pengetahuan, riset maupun jurnal, baik Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM) belum bisa berkompetisi di tingkat global maupun regional. Kemajuan yang dicapai perguruan tinggi di Malaysia, Singapura, India, dan negara-negara Asia lain telah jauh meninggalkan Indonesia di belakang.
DI tengah gambaran pendidikan Indonesia yang suram itu muncul sejumlah fenomena yang memberi harapan. Sejumlah remaja dari Indonesia berhasil memperoleh medali dalam Olimpiade di bidang teknologi dan sains. Selalu saja muncul pemenang lomba ilmiah remaja dengan penelitian yang kreatif. Bahkan sekelompok remaja dari sebuah sekolah di Jayapura bisa meraih juara pertama lomba ilmiah remaja. Di tingkat perguruan tinggi, muncul sejumlah nama rajin melakukan riset dan menulis di jurnal dan mencapai reputasi di tingkat internasional. Prestasi-prestasi individual itu akan menjadi critical mass yang dapat menopang kemajuan bangsa bila pendidikan dikelola dengan benar.
Mengurai benang kusut pendidikan jelas tidak mudah. Dibutuhkan revolusi, bukan sekadar reformasi yang hanya menjadi jargon. Pendidikan perlu dikembangkan dalam dua jalur, pendidikan bagi mereka yang memiliki kemampuan normal dan bagi mereka yang memiliki kemampuan luar biasa. Di tingkat perguruan tinggi, harus dikembangkan perguruan tinggi untuk mendukung lahirnya kelompok elite ilmuwan alpha dan alpha-plus, kaum profesional yang andal, dan lapisan masyarakat yang melek huruf dalam arti luas.
Fenomena munculnya sekolah dan perguruan tinggi yang dikelola secara industri dan korporasi tidak perlu ditanggapi dengan antipati. Bahkan sebaliknya, lembaga pendidikan swasta yang mampu melaju pesat dengan segala pendekatan inovatifnya, tidak perlu dihalangi. Meski dengan catatan, pendidikan semacam itu jangan sampai menghasilkan kelompok elitis yang eksklusif.
Sebaliknya juga, pemerintah juga tidak bisa menghindar dari kewajibannya membiayai pendidikan. Pemerintah harus menjamin agar semua warga negara dapat memperoleh pendidikan dasar yang bermutu, menjamin agar kelompok miskin tetap memiliki akses untuk memperoleh pendidikan bermutu sampai jenjang pendidikan tinggi, dan mengembangkan pusat-pusat keunggulan di tingkat pendidikan tinggi. Ketersediaan gedung dan sarana fisik lain penting, tetapi yang paling penting adalah manusia-manusia yang terlibat dalam pendidikan itu sendiri, yakni interaksi antara guru dan murid. Itu tidak mungkin bila para pendidik hidup dalam keadaan serba berkekurangan.
Aneka perubahan yang perlu dalam pengelolaan pendidikan tidak hanya mensyaratkan perlunya perubahan besar dalam struktur pembiayaan pendidikan, memberi arah dan tujuan yang jelas, tetapi juga perlu perubahan mental dalam pengelolaan pendidikan. Untuk mencegah kapal besar pendidikan Indonesia karam dalam waktu dekat, perlu perubahan yang bersifat revolusioner. Itu hanya bisa terjadi bila seluruh masyarakat bergerak, bersama menyuarakan tuntutan perbaikan pelayanan pendidikan. (P Bambang Wisudo)
.....>tanggapan mas ebiet G Ade...dosa siapa ..ini salah siapa....hi..hi...?
T0 BE C0NTINU3D
No comments:
Post a Comment